Jumat, 04 Desember 2009

Gambar wayang

Dilihat dari bentuknya sumpit, sumpit memiliki bentuk yang bulat dan memiliki panjang antara 1,5-2 meter, berdiameter sekitar 2-3 sentimeter. Pada ujung sumpit ini diolah sasaran bidik seperti batok kecil seperti wajik yang berukuran 3-5 sentimeter. Pada bagian tengah dari sumpit dilubangi sebagai tempat masuknya damek (anak sumpit). Pada bagian bagian atas sumpit lebih tepatnya pada bagian depan sasaran bidik dipasang sebuah tombak atau sangkoh (dalam bahasa Dayak). Sangkoh terbuat dari batu gunung yang lalu diikat dengan anyaman uei (rotan).

sipet sumpit dayak pedalaman Sipet: Senjata Sumpit Dayak

Kamis, 03 Desember 2009

Sistem Pendidikan Indonesia Memprihatinkan

SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA MEMPRIHATINKAN

Sistem pendidikan saat ini seperti lingkaran setan, jika ada yang mengatakan bahwa tidak perlu UN karena yang mengetahui karakteristik siswa di sekolah adalah guru, pernyataan tersebut betul sekali, namun pada kenyataannya di lapangan, sering kali saya lihat nilai raport yang dimanipulasi, jarang bahkan mungkin tidak ada guru yang tidak memanipulasi nilainya dengan berbagai macam alasan, kasihan siswanya, supaya terlihat guru tersebut berhasil dalam mengajar, karena tidak boleh ada nilai 4 atau 5 di raport dan lain sebagainya. Mengapa guru bersikap demikian, mengapa nilai siswa-siswa banyak yang belum tuntas, salahkah guru?? Jawabannya bisa ya bisa tidak, bisa ya karena mungkin guru tersebut tidak memiliki kompetensi mengajar yang memadai, bisa tidak, karena sistem pendidikan Indonesia mengharuskan siswa mempelajari bidang studi yang terlalu banyak. Rata-rata bidang studi yang harus mereka pelajari selama satu tahun pelajaran adalah 16 bidang studi, dengan materi untuk tiap bidang studi juga banyak, abstrak dan tidak sesuai dengan kebutuhan siswa.

Terus terang dalam hal ini saya lebih senang menyalahkan sistem pendidikan Indonesia, sistem pendidikan kita terlalu memaksa anak untuk dapat menguasai sekian banyak bidang studi dengan materi yang sedemikian abstrak, yang selanjutnya membuat anak merasa tertekan/stress yang dampaknya membuat mereka suka bolos, bosan sekolah, tawuran, mencontek, dan lain-lain. Yang pada akhirnya mereka tidak dapat mengerjakan ujian dengan baik, nilai mereka kurang padahal sudah dilakukan remidi, dan supaya dianggap bisa mengajar atau karena tidak boleh ada nilai kurang atau karena kasihan beban pelajaran siswa terlalu banyak, kemudian guru melakukan manipulasi nilai raport. Nilai raport inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk memperoleh beasiswa atau melanjutkan kuliah atau ikut PMDK dan lain sebagainya. Tahukah siswa akan kenyataan pahit ini? Lalu apakah UN solusi untuk melihat kemampuan siswa? Bukan, karena UN tidak adil, bahwa kemampuan siswa tidak dapat distandardisasi.

Saya yakin Allah menciptakan manusia tidak ada yang bodoh, yang ada adalah kita terlambat mengetahui kecenderungan kompetensi mereka, dari kecil mereka sudah dikondisikan kalau tidak boleh dibilang dipaksa, untuk melakukan atau mempelajari sesuatu yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan psikologi mereka.

Menurut saya mendidik adalah mempersiapkan anak didik untuk menghadapi kehidupan nyata, kehidupan nyata adalah kehidupan dimana mereka sudah tidak lagi bergantung pada orang tua, kehidupan dimana mereka dapat menyelesaikan sendiri segala masalah yang mereka hadapi dengan bijaksana.

Saya jadi ingat petikan tulisan pada buku "Sekolah itu Candu": Pendidikan harus berorientsi kepada pengenalan realitas, yang obyektif maupun subyektif karena kesadaran subyektif dan kemampuan obyektif adalah fungsi dialektis dalam diri manusia sehubungan dengan kenyataan yang sering bertentangan yang harus dipahami dan dihadapinya. Proses pendidikan adalah memanusiakan manusia.

Kembali lagi dengan masalah UN, kompetensi manusia tidak bisa distandardisasi dan di rangking, semua memiliki kelebihan dan kekurangan, kalaupun mau dipaksakan ada standardisasi, sistem pendidikan Indonesia diperbaiki terlebih dahulu, standardisasi dikenakan pada kelompok yang memiliki kompetensi dasar sama, itu baru adil.

Sesungguhnya banyak sekali pemerhati pendidikan di Indonesia yang sudah menyadari hal ini, banyak sekali tulisan-tulisan mereka, baik pada artikel-artikel pendidikan, bahkan buku-buku pendidikan, namun pemerintah seolah menutup mata akan ide-ide cemerlang mereka. Sistem pendidikan kita adalah alat pemuas kebutuhan pemerintah, dan orang tua, bukan sistem yang dibuat sesuai kebutuhan siswa. Siswa secara tidak sadar dibelenggu oleh pemikiran-pemikiran yang ditanamkan orang tua dan pemerintah bahkan guru, padahal mereka manusia merdeka yang bebas menentukan nasibnya sendiri.

Beberapa tahun terakhir ini, beberapa teman mulai menerapkan home schooling pada anak-anak mereka, seorang teman melakukannya karena permintaan putranya yang berusia 14 tahun, karena si anak merasa sekolah membosankan, menghabiskan waktu dan tidak dapat menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang ada di benaknya, tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkannya, oleh karenanya dia memutuskan untuk tidak bersekolah, dia lebih tertarik tenggelam dalam buku-buku bacaannya. Bersyukurlah si anak karena dia memiliki orang tua yang bisa mengerti bahwa sekolah bukan satu-satunya jalan untuk mencerdaskan anaknya. Menarik rasanya membaca tulisan Roem ini: "Tak kurang dua belas tahun waktu diselesaikan untuk bersekolah. Masa yang relatif panjang dan menjemukan, jika sekedar mengisinya dengan duduk, mencatat, sesekali bermain dan yang penting mendengarkan guru ceramah di depan meja kelas. Lewat sekolah orang bisa meraih jabatan sekaligus mendapat cemooh. Ringkasnya sekolah mampu mencetak manusia menjadi pejabat tapi juga penjahat. Masih pantaskah sekolah untuk mengakui peran tunggalnya dalam mencerdaskan seseorang".

Ternyata banyak pilihan yang bisa dilakukan oleh seorang siswa, terlepas apakah orang tua bisa mengerti ataupun tidak keinginan putra-putrinya. Tidak bersekolah memang keputusan yang sangat berat, berbagai macam keberatan akan muncul, bagaimana dengan diskusi, bagaimana dengan penyamaan persepsi terhadap suatu permasalahan, jika tidak bersekolah, bagaimana dapat menemukan lingkungan yang kondusif untuk belajar, atau yang lebih umum, karena bangsa kita adalah bangsa yang gila gengsi dan gelar, bagaimana dengan pekerjaan, jika tidak punya gelar. Puih inilah yang paling menjijikan, sekolah hanya untuk mencari gelar??.

Pada siswa, pertama kali yang saya tanyakan ketika masuk kelas adalah apa kesukaan mereka dan apa keinginan mereka, berbagai macam jawaban terlontar disana, dan sebagian besar dari mereka memiliki keinginan yang ditentang oleh orang tua. Memprihatinkan bukan? Ada seorang siswa saya yang suka kebut-kebutan di jalan, dimarahilah dia habis-habisan? Pernahkan orang tua menanyakan mengapa mereka melakukan itu? Siswa saya ini sebenarnya sangat mahir memodifikasi motor. Sesungguhnya bisa khan orang tua berdiskusi mencari solusi terbaik, tanpa memarahinya habis-habisan.

Jika memang tetap sekolah yang akan dijadikan satu-satunya alat untuk mencerdaskan seseorang, maka sistem pendidikan Indonesia harus diubah, tidak boleh memaksakan siswa, kurikulum disesuaikan dengan kompetensi dasar masing-masing siswa, bidang studi yang diajarkan tidak terlalu banyak dan materi untuk tiap bidang studi disesuaikan dengan perkembangan siswa. Ubo rampe yang lain seperti fasilitas pendidikan dan kesejahteraan guru mestinya ikut ditingkatkan. Subsidi pendidikan diperbesar, pungutan dan pemotongan dana dan lain-lain dihapuskan.

Bagi siswa yang berani mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, yang menyadari bahwa UN bukan segala-galanya, yang menyadari bahwa belajar bisa dimana saja sesuai dengan keinginan, minat dan kebutuhannya, salut buat mereka, percayalah gelar bukan jaminan keberhasilan seseorang. Banyak sarjana menganggur, belum menyadari apa keinginan dan minat mereka, karena selama ini disadari atau tidak mereka telah dijadikan robot sistem pendidikan Indonesia.

PELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH , METAMORFOSIS ULAT MENJADI KEPOMPONG

Pendidikan Bahasa Indonesia merupakan salah satu aspek penting yang perlu diajarkan kepada para siswa di sekolah. Tak heran apabila mata pelajaran ini kemudian diberikan sejak masih di bangku SD hingga lulus SMA. Dari situ diharapkan siswa mampu menguasai, memahami dan dapat mengimplementasikan keterampilan berbahasa. Seperti membaca, menyimak, menulis, dan berbicara. Kemudian pada saat SMP dan SMA siswa juga mulai dikenalkan pada dunia kesastraan. Dimana dititikberatkan pada tata bahasa, ilmu bahasa, dan berbagai apresiasi sastra. Logikanya, telah 12 tahun mereka merasakan kegiatan belajar mengajar (KBM) di bangku sekolah. Selama itu pula mata pelajaran Bahasa Indonesia tidak pernah absen menemani mereka.

Tetapi, luar biasanya, kualitas berbahasa Indonesia para siswa yang telah lulus SMA masih saja jauh dari apa yang dicita-citakan sebelumnya. Yaitu untuk dapat berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.Hal ini masih terlihat dampaknya pada saat mereka mulai mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Kesalahan-kesalahan dalam berbahasa Indonesia baik secara lisan apalagi tulisan yang klise masih saja terlihat. Seolah-olah fungsi dari pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah tidak terlihat maksimal. Saya penah membaca artikel dosen saya yang dimuat oleh harian Pikiran Rakyat. Dimana dalam artikel tersebut dibeberkan banyak sekali kesalahan-kesalahan berbahasa Indonesia yang dilakukan oleh para mahasiswa saat penyusunan skripsi. Hal ini tidak relevan, mengingat sebagai mahasiswa yang notabenenya sudah mengenyam pendidikan sejak setingkat SD hingga SMU, masih salah dalam menggunakan Bahasa Indonesia.

Lalu, apakah ada kesalahan dengan pola pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah? Selama ini pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah cenderung konvesional, bersifat hafalan, penuh jejalan teori-teori linguistik yang rumit. Serta tidak ramah terhadap upaya mengembangkan kemampuan berbahasa siswa. Hal ini khususnya dalam kemampuan membaca dan menulis. Pola semacam itu hanya membuat siswa merasa jenuh untuk belajar bahasa Indonesia. Pada umumnya para siswa menempatkan mata pelajaran bahasa pada urutan buncit dalam pilihan para siswa. Yaitu setelah pelajaran-pelajaran eksakta dan beberapa ilmu sosial lain. Jarang siswa yang menempatkan pelajaran ini sebagai favorit. Hal ini semakin terlihat dengan rendahnya minat siswa untuk mempelajarinya dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Saya menyoroti masalah ini setelah melihat adanya metode pengajaran bahasa yang telah gagal mengembangkan keterampilan dan kreativitas para siswa dalam berbahasa. Hal ini disebabkan karena pengajarannya yang bersifat formal akademis, dan bukan untuk melatih kebiasaan berbahasa para siswa itu sendiri.

Pelajaran Bahasa Indonesia mulai dikenalkan di tingkat sekolah sejak kelas 1 SD. Seperti ulat yang hendak bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Mereka memulai dari nol. Pada masa tersebut materi pelajaran Bahasa Indonesia hanya mencakup membaca, menulis sambung serta membuat karangan singkat. Baik berupa karangan bebas hingga mengarang dengan ilustrasi gambar. Sampai ke tingkat-tingkat selanjutnya pola yang digunakan juga praktis tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pengajaran Bahasa Indonesia yang monoton telah membuat para siswanya mulai merasakan gejala kejenuhan akan belajar Bahasa Indonesia. Hal tersebut diperparah dengan adanya buku paket yang menjadi buku wajib. Sementara isi dari materinya terlalu luas dan juga cenderung bersifat hafalan yang membosankan. Inilah yang kemudian akan memupuk sifat menganggap remeh pelajaran Bahasa Indonesia karena materi yang diajarkan hanya itu-itu saja.

Saya mengambil contoh dari data tes yang dilakukan di beberapa SD di Indonesia tentang gambaran dari hasil pembelajaran Bahasa Indonesia di tingkat SD. Tes yang digunakan adalah tes yang dikembangkan oleh dua Proyek Bank Dunia, yaitu PEQIP dan Proyek Pendidikan Dasar (Basic Education Projects) dan juga digunakan dalam program MBS dari Unesco dan Unicef. Dari tes menulis dinilai berdasarkan lima unsur: tulisan tangan (menulis rapi), ejaan, tanda baca, panjangnya karangan, dan kualitas bahasa yang digunakan. Bobot dalam semua skor adalah tulisan (15%), ejaan (15%), tanda baca (15%), panjang tulisan (20%), dan kualitas tulisan (35%).

Hanya 19% anak bisa menulis dengan tulisan tegak bersambung dan rapih. Sedangkan 64% bisa membaca rapih tetapi tidak bersambung. Perbedaan antarsekolah sangat mencolok. Pada beberapa sekolah kebanyakan anak menulis dengan rapih, sementara yang lain sedikit atau sama sekali tidak ada. Ini hampir bisa dipastikan guru-guru pada sekolah-sekolah yang pertama yang bagus tulisannya secara reguler mengajarkan menulis rapi. Sementara sekolah-sekolah yang belakangan tidak.

Hanya 16% anak menulis tanpa kesalahan ejaan dan 52% anak bisa menulis dengan ejaan yang baik (sebagian besar kata dieja dengan benar), sementara lebih dari 30% dari kasus menulis dengan kesalahan ejaan yang parah atau sangat parah. 58 % anak memberi tanda baca pada tulisan mereka dengan baik (dikategorikan bagus atau sempurna), sementara itu lebih dari 35% kasus anak yang menulis dengan kesalahan tanda baca dan dikategorikan kurang atau sangat kurang.

58% siswa menulis lebih dari setengah halaman dan 44% siswa isi tulisannya yang dinilai baik, yaitu gagasannya diungkapkan secara jelas dengan urutan yang logis. Pada umumnya anak kurang dapat mengelola gagasannya secara sistematis

Alasan mengapa begitu banyak anak yang mengalami kesulitan dalam menulis karangan dengan kualitas dan panjang yang memuaskan serta dengan menggunakan ejaan dan tanda baca yang memadai ialah anak-anak di banyak kelas jarang menulis dengan kata- kata mereka sendiri. Mereka lebih sering menyalin dari papan tulis atau buku pelajaran. Dari data tersebut menggambarkan hasil dari KBM Bahasa Indonesia di SD masih belum maksimal. Walaupun jam pelajaran Bahasa Indonesia sendiri memiliki porsi yang cukup banyak.

Setelah lulus SD dan melanjutkan ke SMP, ternyata proses pengajaran Bahasa Indonesia masih tidak kunjung menunjukan perubahan yang berarti. Ulat pun masih menjadi kepompong. Kelemahan proses KBM yang mulai muncul di SD ternyata masih dijumpai di SMP. Bahkan ironisnya, belajar menulis sambung yang mati-matian diajarkan dahulu ternyata hanya sebatas sampai SD saja. Pada saat SMP penggunaan huruf sambung seakan-akan haram hukumnya, karena banyak guru dari berbagai mata pelajaran yang mengharuskan muridnya untuk selalu menggunakan huruf cetak. Lalu apa gunanya mereka belajar menulis sambung?

Seharusnya pada masa ini siswa sudah mulai diperkenalkan dengan dunia menulis (mengarang) yang lebih hidup dan bervariatif. Dimana seharusnya siswa telah dilatih untuk menunjukkan bakat dan kemampuannya dalam menulis: esai, cerita pendek, puisi, artikel, dan sebagainya. Namun, selama ini hal itu dibiarkan mati karena pengajaran Bahasa Indonesia yang tidak berpihak pada pengembangan bakat menulis mereka. Pengajaran Bahasa Indonesia lebih bersifat formal dan beracuan untuk mengejar materi dari buku paket. Padahal, keberhasilan kegiatan menulis ini pasti akan diikuti dengan tumbuhnya minat baca yang tinggi di kalangan siswa.

Beranjak ke tingkat SMA ternyata proses pembelajaran Bahasa Indonesiapun masih setali tiga uang. Sang ulat kini hanya menjadi kepompong besar. Kecuali dengan ditambahnya bobot sastra dalam pelajaran bahasa indonesia, materi yang diajarkan juga tidak jauh-jauh dari imbuhan, masalah ejaan, subjek-predikat, gaya bahasa, kohesi dan koherensi paragraf, peribahasa, serta pola kalimat yang sudah pernah diterima di tingkat pendidikan sebelumnya. Perasaan akan pelajaran Bahasa Indonesia yang dirasakan siswa begitu monoton, kurang hidup, dan cenderung jatuh pada pola-pola hafalan masih terasa dalam proses KBM.

Tidak adanya antusiasme yang tinggi, telah membuat pelajaran ini menjadi pelajaran yang kalah penting dibanding dengan pelajaran lain. Minat siswa baik yang menyangkut minat baca, maupun minat untuk mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia semakin tampak menurun. Padahal, bila kebiasaan menulis sukses diterapkan sejak SMP maka seharusnya saat SMA siswa telah dapat mengungkapkan gagasan dan ''unek-unek'' mereka secara kreatif. Baik dalam bentuk deskripsi, narasi, maupun eksposisi yang diperlihatkan melalui pemuatan tulisan mereka berupa Surat Pembaca di berbagai surat kabar. Dengan demikian apresiasi dari pembelajaran Bahasa Indonesia menjadi jelas tampak prakteknya dalam kehidupasn sehari-hari. Bila diberikan bobot yang besar pada penguasaan praktek membaca, menulis, dan apresiasi sastra dapat membuat para siswa mempunyai kemampuan menulis jauh lebih baik Hal ini sangat berguna sekali dalam melatih memanfaatkan kesempatan dan kebebasan mereka untuk mengungkapkan apa saja secara tertulis, tanpa beban dan tanpa perasaan takut salah.

Setelah melihat pada ilustrasi dari pola pengajaran tersebut saya melihat adanya kelemahan - kelemahan dalam pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah. KBM belum sepenuhnya menekankan pada kemampuan berbahasa, namun lebih pada penguasaan materi. Hal ini terlihat dari porsi materi yang tercantum dalam buku paket lebih banyak diberikan dan diutamakan oleh para guru bahasa Indonesia. Sedangkan pelatihan berbahasa yang sifatnya lisan ataupun praktek hanya memiliki porsi yang jauh lebih sedikit. Padahal kemampuan berbahasa tidak didasarkan atas penguasaan materi bahasa saja, tetapi juga perlu latihan dalam praktek kehidupan sehari-hari.

Selain itu, pandangan atau persepsi sebagian guru, keberhasilan siswa lebih banyak dilihat dari nilai yang diraih atas tes, ulangan umum bersama (UUB) terlebih lagi pada Ujian Akhir Nasional (UAN). Nilai itu sering dijadikan barometer keberhasilan pengajaran. Perolehan nilai yang baik sering menjadi obsesi guru karena hal itu dipandang dapat meningkatkan prestise sekolah dan guru. Untuk itu, tidak mengherankan jika dalam KBM masih dijumpai guru memberikan latihan pembahasan soal dalam menghadapi UUB dan UAN. Apalagi dalam UUB dan UAN pada pelajaran bahasa Indonesia selalu berpola pada pilihan ganda. Dimana bagi sebagian besar guru menjadi salah satu orientasi di dalam proses pembelajaran mereka. Akibatnya, materi yang diberikan kepada siswa sekedar membuat mereka dapat menjawab soal-soal tersebut, tetapi tidak punya kemampuan memahami dan mengimplementasikan materi tersebut untuk kepentingan praktis dan kemampuan berbahasa mereka. Pada akhirnya para siswa yang dikejar-kejar oleh target NEM-pun hanya berorientasi untuk lulus dari nilai minimal atau sekadar bisa menjawab soal pilihan ganda saja. Perlu diingat bahwa soal-soal UAN tidak memasukan materi menulis atau mengarang (soal esai).

Peran guru Bahasa Indonesia juga tak lepas dari sorotan, mengingat guru merupakan tokoh sentral dalam pengajaran. Peranan penting guru juga dikemukakan oleh Harras (1994). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia, dilaporkannya bahwa guru merupakan faktor determinan penyebab rendahnya mutu pendidikan di suatu sekolah. Begitu pula penelitian yang dilakukan International Association for the Evaluation of Education Achievement menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang signifikan antara tingkat penguasaan guru terhadap bahan yang diajarkan dengan pencapaian prestasi para siswanya . Sarwiji (1996) dalam penelitiannya tentang kesiapan guru Bahasa Indonesia, menemukan bahwa kemampuan mereka masih kurang. Kekurangan itu, antara lain, pada pemahaman tujuan pengajaran, kemampuan mengembangkan program pengajaran, dan penyusunan serta penyelenggaraan tes hasil belajar. Guru Bahasa Indonesia juga harus memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran bahasa yang langsung berhubungan dengan aspek pembelajaran menulis, kosakata, berbicara, membaca, dan kebahasaan .Rupanya guru juga harus selalu melakukan refleksi agar tujuan bersama dalam berbahasa Indonesia dapat tercapai.

Selain itu, siswa dan guru memerlukan bahan bacaan yang mendukung pengembangan minat baca, menulis dan apreasi sastra. Untuk itu, diperlukan buku-buku bacaan dan majalah sastra (Horison) yang berjalin dengan pengayaan bahan pengajaran Bahasa Indonesia. Kurangnya buku-buku pegangan bagi guru, terutama karya-karya sastra mutakhir (terbaru) dan buku acuan yang representatif merupakan kendala tersendiri bagi para guru. Koleksi buku di perpustakaan yang tidak memadai juga merupakan salah satu hambatan bagi guru dan siswa dalam proses pembelajaran di sekolah perpustakaan sekolah hanya berisi buku paket yang membuat siswa malas mengembangkan minat baca dan wawasan mereka lebih jauh.

Menyadari peran penting pendidikan bahasa Indonesia, pemerintah seharusnya terus berusaha meningkatkan mutu pendidikan tersebut. Apabila pola pendidikan terus stagnan dengan pola-pola lama, maka hasil dari pembelajaran bahasa Indonesia yang didapatkan oleh siswa juga tidak akan bepengaruh banyak. Sejalan dengan tujuan utama pembelajaran Bahasa Indonesia supaya siswa memiliki kemahiran berbahasa diperlukan sebuah pola alternatif baru yang lebih variatif dalam pengajaran bahasa Indonesia di sekolah. Agar proses KBM di kelas yang identik dengan hal-hal yang membosankan dapat berubah menjadi suasana yang lebih semarak dan menjadi lebih hidup. Dengan lebih variatifnya metode dan teknik yang disajikan diharapkan minat siswa untuk mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia meningkat dan memperlihatkan antusiasme yang tinggi. Selain itu guru hendaknya melakukan penilaian proses penilaian atas kinerja berbahasa siswa selama KBM berlangsung. Jadi tidak saja berorientasi pada nilai ujian tertulis. Perlu adanya kolaborasi baik antar guru Bahasa Indonesia maupun antara guru Bahasa Indonesia dengan guru bidang studi lainnya. Dengan demikian, tanggung jawab pembinaan kemahiran berbahasa tidak semata-mata menjadi tanggung jawab guru Bahasa Indonesia melainkan juga guru bidang lain. Apabila, sistem pembelajaran Bahasa Indonesia yang setengah-setengah akan terus begini, maka metamorfosis sang ulat hanyalah akan tetap menjadi kepompong. Awet dan tidak berkembang karena pengaruh formalin pola pengajaran yang masih berorientasi pada nilai semata.

Quo vadis sistem pendidikan Indonesia

Kontroversi Rancangan Undang Undang sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) nampaknya belum akan berakhir. Dalam beberapa bab dan ppasalnya, oleh banyak pihak digugat. Hal ini terutama karena RUU Sisdiknas, di nilai memaksakan kehendak dalam hal ini , pendidikan agama. Bila saat ini seorang siswa belajar di lembaga pendidikan yang di kelola oleh umat lain, yang sering terjadi siswa tersebut tak memperolah pendidikan agamanya, sesuatu yang sebenarnya sudah menjadi haknya.

Untuk mengatasi hal itulah pemerintah, melalui komite reforemasi Pendidikan, merancang UU Sisdiknas yang baru, dan kontroversial. Hal ini misalnya dalam pasal 13 ayat (1) huruf a) menyebutkan : setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama disemua jenjang dan jenis pendidikan..

Konsekwensinya, lembaga pendidikan islam, bila siswanya ada yang beragama Kristen, Hindu atau Budha harus menyediakan guru agama yang seagama. Begitu juga lembaga pendidikan Katolik bila ada siswanya yang beragama Islam, harus menyediakan guru agama yang seiman pula. Bila di kaji lebih jauh, sebenarnya hal ini adalah sesuatu yang positif. Sejak dini siswa di perkenalkan kepada nilai nilai pluralisme dan toleransi sesama umat beragama. Terjadinya konflik bernuansakan agama salah satu penyeabnya adalah tidak diperkenalkan nilai pluralisme keagamaan sejak dini. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk, dengan keragaman suku, budaya, agama dan bahasa. Hal ini bisa menjadi potensi, tetapi juga hal yang kontraproduktif jika tak ditangani dengan benar. Usaha usaha kearah tersebut salah satunya melalui penanaman nilai keagamaan yang benar mulai dari lingkup pendidikan dasar hingga tinggi. Dari itu pendidikan agama yang tepat, disampaikan oleh orang yang tepat (guru yang seiman) merupakan conditio sine qua non. Hal ini karena : pertama, pendidikan agama bukanlah masalah penyapaian pesan pesan verbal semata, yang cukup disampaikan pada aspek kognitif, tetapi lebih pada dimensi yang lebih mandasar dan hakiki, yaitu transfer of value, tertanamnya nilai ajaran keimanan agama dalam diri peserta didik. Kedua, adanya kompetensi dan keteladanan bagi pendidik agama bila ia juga pemeluk agama tersebut. Pendidik seiman ini terutama, menurut hemat penulis, di tujukan pada pendidikan dasar dan menengah. Beda halnya kalangan perguruan tinggi, seperti jurusan theologi, yang mempelajari perbandingan agama disampaikan oleh orang yang beda agama tetapi memiliki otoritas di bidangnya.

Kontroversi lainya adalah ideologi kapitalis dan eksklusifisme pendidikan. Dalam pasal 5 ayat 6 di nyatakan: pendidikan diselenggarakan berdasarkan otonomi, akuntabilitas publik dan jaminan mutu. Isu yang di angkat dalam padsal nini memang bagus. Idealnya tiap sekolah menerapkan standard mutu yang ketat seperti penerapan managemen mutu terpadu (total quality management). Semangat kapitalime dan liberalisasi pendidikan juga nampak dalam usaha privatisasi Perguruan Tinggi Negeri menjadi badan hukum (pasal 46 ayat 2, masuknya lembaga pendidikan asing di indonesia (pasal 56 ayat 1). Demikain juga mengenai pemukaan kelas jauh (pasal 14 ayat 2 dan 27 ayat 1-3) yang di tujukan bagi kaum elit tetapi patut di pertanyakan kualitasnya. Pengadaan kelas jauh yang marak akhir akhir ini di eberapa perguruan tinggi pernah di hujat oleh masyarakat dan menteri pendidikan Nasional Malik Fajar. Demikian pula nasib lembaga pendidikan yang di kelola pihak swasta yang tak jelas eksistensinya, karena ¥hampir tak ada satu pasal yang mengatur keberadaan dan tanggung jawab negara terhadap sekolah swasta tersebut.

Apakah semua kewajiban lembaga pendidikan swasta di bebankan kepada masyarakat, sedangkan pemndidikan adalah hak warga negara? RUU Sisdiknas yang memuat pengajaran agama oleh guru yang seiman, merupakan hal yang patut kita dukung. Diharapkan dengan penanaman nilai pluralisme dan toleransi sejak dini dapat mengurangi akar konflik yang bernuansa keagamaan. Peserta didik menjadi lebih mampu dalam menghadapi perbedaan pendapat yang timbul dari beda agama. Dan penghormatan ini akan terus dibawanya hingga ia dewasa. Namun dalam hal liberalisasi dan semangat kapitalisme lembaga pendidikan, perlu di cermati lebih jauh konsekwensi logis dan dampak negatif yang akan timbul terutama bagi kalangan tak mampu. Jika memang pendidikan adalah hak warga negara, maka sudah semestinya pemerintah mengusahakan pendidikan murah bagi rakyat, bukan sebaliknya. Bila memang demikian, pertanyaannya adalah sudah siapkah kalangan pendidik di negeri ini untuk menghadapai tuntutan RUU yang --dalam beberapa pasal-- tak realistis ini?

Menuju Masyarakat Edukatif

Aristoteles berpendapat bahwa pada waktu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa, sebuah meja lilin (tabula rasa) yang siap dilukis oleh pengalaman. Dari Aristoteles, John Locke (1632 – 1704), tokoh empirisme Inggris, meninjam konsep ini. Menurut kaum empiris, pada waktu lahir manusia tidak mempunyai “warna mental”. Warna ini didapat dari pengalaman. Pengalaman adalah satu-satunya jalan ke pemilikan pengetahuan (Rakhmat, 2004).

Pengalaman sendiri dibentuk melalui pendidikan. Di sini penulis melihat bahwa pengalaman (baca: pendidikan) merupakan faktor penting yang mempengaruhi perilaku dan budaya masyarakat di masa depan. Proses pembentukan pendidikan harus melihat realitas yang ada di tengah masyarakat dengan mengedepankan aspek pendidikan agama, sains, dan sosial untuk menumbuhkan pemikiran kritis dan demokratis. Karena produk pendidikan untuk menghasilkan masyarakat edukatif (secara universal) harus memperhatikan keterampilan hidup (life skill) dan keterampilan sosial (social skill). Kedua hal ini merupakan satu kesatuan untuk menciptakan sebuah perubahan dalam konteks modernisasi berpikir masyarakat yang madani.

Dalam sebuah Catatan Pinggir, Goenawan Mohamad pernah mengemukakan, pengetahuan lahir saat manusia tumbuh. Dunia modern bahkan bergerak dari proses pengetahuan itu: manusia tak lagi tersihir oleh dunia. Ia menangkap dunia itu, menafsirkannya dan mengubahnya. Hal ini berarti pendidikan merupakan “senjata nuklir” yang dapat mengubah dunia ––mungkin juga menghancurkannya. Beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Jepang secara tidak langsung memanfaatkan pendidikan untuk menguasai pemikiran masyarakat dunia melalui konsep ekonomi, ideologi, dan teknologi. Hal ini sangat berbahaya bagi negara-negara berkembang yang setakat ini dengan mudah dapat “tersihir” oleh konsep pemikiran yang dihasilkan negara-negara barat.

Realitas Pendidikan Indonesia

Hingga kini masalah pendidikan di Indonesia masih menjadi isu sentral yang selalu dibicarakan semua orang, baik yang bersentuhan langsung dengan urusan pendidikan maupun tidak. Karena ukuran kualitas dan kuantitas dunia pendidikan menjadi cermin kemajuan sebuah peradaban. Kita lihat misalnya negara-negara maju selalu menempatkan pendidikan sebagai prioritas nomor satu dalam pembangunan. Hal ini erat kaitannya dengan budaya riset untuk peningkatan kemajuan teknologi dalam menghadapi persaingan global. Lalu bagaimana dengan negara-negara berkembang? Khususnya Indonesia, hal ini sepertinya masih jauh panggang dari api.

Padahal seperti dilihat pada gambaran Pembangunan Pendidikan yang tertuang dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004, dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Tantangan pertama, sebagai akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua, untuk mengantisipasi era global dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global. Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman kebutuhan/keadaan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat.

Menghadapi tantangan ini diperlukan konsep pendidikan yang memihak masyarakat, bukan pendidikan berorientasi pada kapitalisme. Masih relatif rendahnya anggaran pendidikan yang berujung pada mahalnya biaya pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, menjadi pemicu utama lambannya peningkatan kualitas sumberdaya manusia di Indonesia. Anggapan “orang miskin dilarang sekolah” begitu melekat di tengah masyarakat, karena rendahnya kesempatan memperoleh pendidikan bagi masyarakat golongan ekonomi lemah. Hal ini sangat kontradiktif dengan jargon pemerintah yang katanya, mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.

Melihat kondisi pendidikan Indonesia yang memprihatinkan tersebut, Guru Besar Universitas Waseda Jepang Profesor Toshiko Kinosita pernah mengemukakan pendapat bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Drs Nurkolis MM dalam artikel “Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang” di homepage Pendidikan Network).

Itulah sebabnya Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.

Pendidikan Riau Masa Depan

Kalau dilihat secara umum pendidikan yang ada di Riau tidak jauh berbeda dengan realitas pendidikan di Indonesia. Dalam berbagai seminar dan diskusi seringkali dikatakan bahwa kualitas dan kuantitas pendidikan di Riau masih rendah. Dalam seminar dan diskusi yang lain digembar-gemborkan bahwa Riau memiliki kekayaan sumberdaya alam yang cukup menjanjikan. Dua kondisi di atas bila dianalogikan sebagai sebuah kutub magnet yang berbeda, seharusnya terjadi hubungan tarik menarik. Namun setakat ini medan magnet tersebut masih relatif lemah. Mengapa?

Idealnya sebuah daerah yang memiliki sumber daya alam (SDA) melimpah memiliki sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni untuk mengelola kekayaan alamnya untuk kemakmuran masyarakat. Karena kemajuan suatu daerah lebih banyak ditentukan oleh kualitas SDM sebagai penggerak utama roda pembangunan. Apalagi di era otonomi daerah ini sudah seharusnya pemerintah setempat melakukan manuver untuk melejitkan kualitas pendidikan agar masyarakat tidak berpikir ortodoks akibat nilai-nilai pengetahuan yang termarjinalkan. Karena salah satu ciri masyarakat dinamis selalu melahirkan inovasi baru dalam melakukan perubahan menuju tatanan kehidupan yang lebih baik.

Dalam sebuah wawancara dengan penulis, Rektor UIR Profesor Hasan Basri Jumin pernah mengatakan bahwa pengembangan pendidikan di Riau masih sangat lamban. Hal ini disebabkan belum menyatunya gagasan dalam upaya peningkatan pengembangan pendidikan. Seperti halnya Profesor Kinosita di atas, pendidikan dasar sembilan tahun dikatakan Profesor Hasan sebagai pondasi yang harus diperhatikan dalam perbaikan kualitas pendidikan. Karena ini sangat potensial untuk meningkatkan partisipasi pendidikan dan peningkatan kemampuan hingga perguruan tinggi.

Salah satu wacana yang pernah berkembang untuk mengentaskan permasalahan pendidikan adalah dengan mengimplementasikan konsep pendidikan gratis untuk pendidikan dasar dan menengah. Namun hal ini belum terwujud, karena belum adanya kebijakan politis yang memihak kepada pendidikan. Konsepnya sendiri belum begitu jelas dalam penerapan di lapangan. Kesadaran pemerintah untuk mendongkrak anggaran pendidikan juga belum terlihat mencuat ke permukaan. Sementara keragaman kondisi geografis, ekonomi, sosial, dan budaya masih menjadi kendala. Sebagai contoh tingkat kesadaran warga untuk menyekolahkan anaknya belum tentu sama. Untuk itu perlu adanya persamaan persepsi tentang pentingnya peran pendidikan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Dengan ketersediaan SDA yang mencukupi, seharusnya pemerintah mulai meningkatkan anggaran komunikasi strategis untuk memasyarakatkan pendidikan. Berbagai bentuk kampanye dan pendampingan sektor pendidikan yang berkesinambungan merupakan salah satu strategi dalam pengelolaan pendidikan hingga ke lapisan masyarakat paling bawah (grassroot). Tujuan pendidikan itu sendiri akan tercapai bila prosesnya komunikatif. Kelompok-kelompok intelektual yang ada di tengah masyarakat perlu dilibatkan dalam komunikasi ini. Bukankah masih banyak sarjana yang belum mendapat lapangan pekerjaan? Tentunya mereka dapat dimanfaatkan oleh pemerintah melalui suatu program yang bertujuan untuk perluasan penyebaran pendidikan ke seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian dapat menjembatani kesenjangan tingkat pendidikan masyarakat melalui tranformasi ilmu oleh masyarakat itu sendiri.

Paragidma pembangunan pendidikan yang merata dapat menciptakan masyarakat yang edukatif. Sehingga budaya berpikir kritis, dinamis, humanis dan demokratis menjadi karakter masyarakat dengan mengedepankan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Provinsi Riau yang identik dengan kultur budaya masyarakat Melayu memiliki potensi untuk menciptakan kehidupan “masyarakat madani”yang meletakkan pendidikan sebagai pondasi dan tujuan dalam membangun bangsa

Pengaruh Kebudayaan Asing Terhadap Generasi Muda

Inilah hal yang dapat kita pertanggung jawabkan mengenai pengaruh budaya asing yang masuk ke Indonesia. Mengapa kita harus selalu mengikuti jalur yang seperti ini apakah budaya asing dapat memberikan solusi tentang perbaikan jati diri setiap manusia khususnya siswa yang duduk di bangku sekolah. Karakter manusia itu berbeda-beda karena ini semua tergantung oleh sifat dan watak perilakunya masing-masing. Pada dasarnya dalam menyikapi tentang persoalan yang demikian ini kita justru cenderung pada bagaimana upaya penanggulangannya agar supaya jati diri kita sebagai manusia yang sejati tidak rusak. Fenomena alam sudah terlihat adanya musibah dimana-mana dari sinilah kita menginstropeksi diri tentang apa kesalahan kita karena dari sini kita dapat menggali dalam dalam bahwa sebenarnya yang patut disalahkan itu pihak asing ataukah kita sendiri. Insight terhadap anak didik khususnya remaja yang cenderung melakukan tindakan anarkhis dengan jalan kekerasan lewat cara entah itu tawuran,perkelahian perkosaan sampai berujung kriminal.

Inilah remaja yang sukanya seenaknya sendiri apakah kita harus mencontoh mereka juga. Dalam hal ini sudah diupayakan lewat jalan observasi di sekolah-sekolah yang intinya juga sama dimanapun sekolah yang terfavorit ataupun yang biasa juga melakukan tindakan kekerasan. Generasi muda menjadi mlempem, atau seperti hewan undur-undur yang jalannya mundur yang artinya dia jika berhadapan dengan orang jujur tidak mau jujur sehingga mampu menutupi kebohongannya. Jaman ini semakin berubah sampai berubahnya tidak mampu untuk bisa mengontrol mengenai manusia yang tinggal dibumi ini. Sebenarnya bumi langit adalah titipan dari yang maha kuasa tanpa tuhan menciptakan bumi langit dan isi-isinya kita tidak mungkin bisa hidup.

Membangun Kebijakan Pendidikan Propublik

Kabinet Indonesia Bersatu II telah terbentuk, dan Profesor Dr Muhammad Nuh ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas). Dengan latar belakang sebagai mantan Rektor ITS serta Menkominfo, kemampuan manajerial Mendiknas baru diharapkan mampu membawa angin segar bagi arah kebijakan pembangunan pendidikan lima tahun ke depan. Tendensi kebijakan pendidikan lima tahun ke depan harus berorientasi pada kebutuhan masyarakat, yang dalam bahasa kebijakan SBY disebut sebagai usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat, memperkuat proses demokratisasi, serta berkeadilan.

Penting dan pastilah tidak mudah untuk dirumuskan visi pendidikan yang mengacu pada tiga kebutuhan tersebut, di mana antara fokus dan lokus ketiganya dalam praktik kebijakan pendidikan sering kali kabur dan dikaburkan oleh birokrasi.

Sinyalemen kebijakan yang diterakan SBY perlu secara kreatif dituangkan dalam program-program pendidikan yang propublik, untuk dan dalam rangka menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan modal Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sudah seharusnya pendidikan kita telah sejak lama mampu menetakkan landasan operasional yang jelas bagi sebuah sistem pelayanan pendidikan yang terpadu dan komprehensif bagi masyarakat. Namun hingga lebih dari 60 tahun merdeka, pembangunan pendidikan seperti jalan di tempat, bahkan seperti kehilangan akar dan rohnya.

Sebagai sektor yang melibatkan begitu banyak kepentingan politik dan budaya di dalamnya, maka sudah sewajarnya jika kritik dan konflik antarnegara dan masyarakat akan terus terjadi (Hill et al 2000). Karena itu sebuah kebijakan pendidikan yang baik dan benar merupakan syarat utama yang harus dikedepankan.

Efektivitas kebijakan

Efektivitas kebijakan pendidikan selama ini berlangsung tanpa evaluasi dan monitoring yang memadai. Sulitnya mengontrol perilaku birokrasi pengelola kebijakan pendidikan hanya salah satu bukti yang menunjukkan bahwa reformasi birokrasi yang kita inginkan tak pernah berjalan. Penyebabnya antara lain ketiadaan unsur masyarakat ketika sebuah kebijakan hendak diakuisisi ke dalam bentuk program. Padahal sejatinya kesempatan masyarakat untuk terlibat dan memberikan masukan terhadap suatu kebijakan haruslah dibuka peluangnya.

Hasil riset di beberapa negara menunjukkan bahwa persoalan pendidikan lebih sering dikemas dalam balutan politik secara serampangan. Maka hasilnya adalah tumbuhnya situasi yang tidak seimbang dan tidak konsisten menyangkut relasi antara sesama birokrat, politisi, dan masyarakat. Meskipun dalam lima tahun terakhir ini kita banyak menghasilkan peraturan dan perundangan mengenai pendidikan, dalam praktiknya terjadi banyak overlaping dan kesalahan dalam implementasi program-program pendidikan (Gary K Clabaugh dan Edward G Rozyki: 2006). Inefektivitas akan terjadi lagi di Indonesia dalam lima tahun ke depan jika dari sekarang baik para politisi, birokrat, dan masyarakat tidak memiliki konsensus ke mana tujuan pendidikan akan diarahkan.

Pembaharuan kebijakan pendidikan melalui konsensus antara birokrat dan komunitas/masyarakat sekolah tampaknya harus dijadikan prioritas Mendiknas saat ini. Dan itu harus dijadikan bingkai dialog secara terbuka antarbirokrasi di tingkat pusat dan daerah dalam mencermati dan membuat rancangan program pembaharuan pendidikan ke depan. Melacak isu dan mengembangkan pendekatan adalah bagian penting dari sebuah konsensus.

Konsensus dalam bidang pendidikan sangat diperlukan dalam rangka mengetahui harapan (expectations) masyarakat terhadap suatu isu dan menyepakati (consensus) bagaimana melakukannya, dengan tidak lupa memberi peran (tasks) mereka untuk terlibat secara langsung dalam memecahkan masalah tersebut. Apa yang menjadi janji-janji birokrat dalam menangani isu tersebut dapat dievaluasi dan di-monitoring secara bersama. Tinggal lagi tugas dan peran para politikus dan birokrat untuk menunjukkan sumber daya (resources) yang memungkinkan sebuah isu dapat diselesaikan secara bersama-sama (Charles Perrow, 1979).

Cara lain untuk mengukur tingkat efektivitas kebijakan juga bisa dilihat dari tingkat sekolah. Kelas dan sekolah harus dijadikan cermin oleh birokrasi pendidikan bagaimana sebenarnya sistem pendidikan kita ditegakkan dan dijalankan. Karena itu kebebasan akademis dari para guru, kepala sekolah, siswa, dan masyarakat harus tecermin kuat dalam program penguatan kapasitas guru dan sekaligus kapasitas peran serta masyarakat yang berkesinambungan. The primacy of teachers harus menjadi prioritas bukan hanya aspek kesejahteraannya, tetapi juga kapasitasnya. Karena tanpa kapasitas yang mumpuni para guru akan semakin terjebak pada rutinitas mengajar yang formal, di mana guru selalu ingin memaksakan prakonsepsi tertentu kepada pikiran para siswa tinimbang sebagai fasilitator yang akan membuat para siswa lebih kreatif dan terbuka (Hatch, White, & Faigenbaum, 2005).

Relasi kebijakan dan politik pendidikan

Isu lain yang selalu erat kaitannya dengan kebijakan pendidikan adalah politik pendidikan. Sebagai salah satu skema dalam menangani dan mendiskusikan sekaligus menganalisis proses penetapan kebijakan pendidikan dan menempatkannya di dalam wilayah publik (public space) yang sangat terbuka untuk didebat dan dipersoalkan, politik pendidikan biasanya sangat peka terhadap isu-isu yang bersifat normatif dan teknis pendidikan, serta menangani persoalan tersebut pada semua level; sekolah, masyarakat, eksekutif, dan legislatif.

Politik pendidikan, dengan demikian, selalu berhubungan dengan kebijakan publik (public policy) yang disusun dan dibuat oleh pemerintah untuk kepentingan publik. Dalam kesimpulan Norton (1996) dan Sergiovanni (1992), dalam politik pendidikan terdapat paling tidak empat sumber nilai yang dianggap sangat fundamental dan berhubungan dalam pengambilan kebijakan di bidang pendidikan, yaitu soal pilihan (choice), kualitas (quality), efisiensi (efficiency), dan kesetaraan (equity).

Dengan menggunakan definisi perilaku yang dibuat oleh Marshall (1989) dalam Culture and Education Policy in the American State, pilihan adalah sebuah nilai yang mengandung opsi untuk seperangkat aksi seperti mandat negara untuk menentukan jenis dan sistem pendidikan yang ingin diselenggarakan. Dalam kasus Indonesia, pilihan tentang sekolah umum dan sekolah agama (madrasah), pilihan tentang ujian nasional sebagai standar kelulusan siswa atau bukan, misalnya, adalah persoalan yang seharusnya didiskusikan secara publik.

Nilai kedua, yaitu kualitas adalah sesuatu yang terbaik (the best) dalam konteks kebijakan publik dan sesuai dengan pandangan dan harapan publik itu sendiri. Dalam kasus Indonesia, jika kualitas pendidikan berarti meningkatkan taraf hidup masyarakat, misalnya, maka proficiency dari kualitas harus sepenuhnya difasilitasi oleh negara dengan cara bagaimana negara menyediakan sumber daya yang bisa mendukung ke arah kualitas tersebut.

Menyangkut efisiensi, nilai ini dapat didefinisikan baik dari sudut pandang ilmu ekonomi maupun akuntabilitas. Dari segi ekonomis, efisiensi berarti bahwa pendidikan harus bernilai efisien dari segi pembiayaan. Dalam kerangka akuntabilitas, efisiensi berarti membutuhkan struktur organisasi birokrasi yang bersih (good governance) dan fleksibel, baik pada tingkat sekolah ataupun masyarakat. Sistem kontrol yang bertanggung jawab harus dibuat sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan pendidikan dapat berjalan secara efisien.

Adapun nilai terakhir yang biasanya terkait dengan isu tentang kebijakan publik di bidang pendidikan adalah kesetaraan, yang berarti bahwa penggunaan sumber daya publik didistribusi berdasarkan perbedaan kebutuhan manusia. Di samping itu, kesetaraan juga biasanya menuntut distribusi program yang didesain untuk kebutuhan pendidikan untuk dan dalam rangka menekan kesenjangan (gap) antara norma-norma kehidupan sosial dan ketersediaan sarana publik yang memadai atau antara norma dan kebutuhan.

Konflik di antara keempat nilai di atas dalam kerangka kebijakan publik di bidang pendidikan memang akan dan selalu terjadi. Karena itu politik pendidikan diharapkan mampu melakukan rekonstruksi dan desain teknis penyelenggaraan pendidikan dalam hubungannya dengan kebijakan publik. Jika selama ini kita melihat bahwa kekuatan pengambilan kebijakan publik lebih banyak ada pada level eksekutif dan legislatif, sudah saatnya kita membuat lembaga-lembaga nonpemerintah yang kuat sebagai pressure group terhadap masalah pendidikan. Dari perspektif politik pendidikan, semakin banyak lembaga dan perorangan terlibat dalam urusan kebijakan publik bidang pendidikan, maka akan semakin baik kualitas pendidikan di Indonesia.

Pemerintah Jangan Ragu Bangun Sarana Pendidikan

PEMERINTAH yang tidak ragu-ragu dalam membangun sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor majunya pendidikan di Jepang. Pembangunan sekolah-sekolah tingkat menengah dan perguruan tinggi sampai ke pelosok kota kecil di Jepang salah satu wujud keseriusan tersebut.

Hal tersebut diakui oleh Prof Toru Kikkawa dari Universitas Osaka Jepang dalam seminar pendidikan berjudul 'Education in Indonesia and Japan: Future Challenges and Opportunities' yang diadakan oleh Universitas Paramadima di Jakarta, Rabu (4/3).

Dalam presentasinya, Prof. Toru Kikkawa, menyajikan hal-hal apa saja yang mempengaruhi perkembangan pendidikan di Jepang selama ini. Beliau juga memaparkan bagaimana latar belakang pendidikan orang tua sangat mempengaruhi peningkatan level pendidikan masyarakat Jepang pada generasi berikutnya.

Jika di negara berkembang, faktor gender, etnis dan ekonomi sangat mempengaruhi level pendidikan masyarakatnya, latar belakang pendidikan orang tua tidak terlalu berpengaruh.

Berbeda dengan Jepang, justru faktor latar belakang pendidikan orang tua dan status pekerjaan yang sangat berpengaruh pada perkembangan level pendidikan masyarakatnya, tutur Toru.

Hal ini juga disambut dengan pernyataan dari Dr. Anies Baswedan yang menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia masih berupa produk komersil. Masyarakat masih berpikir sekolah itu mahal dan hanya orang-orang berduit saja yang bisa sekolah.

Anggaran pendidikan yang dipatok 20% pada APBN 2009 sebenarnya masih belum cukup untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia, mengingat demikian luasnya wilayah Indonesia. Hal ini menyebabkan pendidikan level sekolah menengah dan perguruan tinggi masih langka di daerah-daerah terpencil, jelas Anies.

Saat ini Jepang target program wajib belajar 9 tahun Jepang telah terpenuhi 100% dari populasi penduduk Jepang. Untuk tingkat sekolah menengah, 97% dari populasi penduduk telah mengikutinya dan untuk tingkat perguruan tinggi 50% dari populasi penduduk Jepang telah menempuh pendidikan tingkat perguruan tinggi.

Berangkat dari hal tersebut, Anies menambahkan bahwa Indonesia harus memiliki manajemen pengembangan pendidikan yang baik. Indonesia dapat memulai dari meningkatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang sama untuk seluruh rakyat Indonesia, mulai dari level pendidikan sekolah dasar sampai level perguruan tinggi. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan merupakan jembatan untuk meningkatkan taraf kehidupan menjadi lebih baik.

Memerdekakan Politik Pendidikan

Memerdekakan Politik Pendidikan

Dalam usia 63 tahun kemerdekaan Indonesia, dunia pendidikan kita tampaknya masih terpasung kepentingan politik praktis dan ambiguitas kekuasaan. Padahal, politik dan kekuasaan suatu negara memegang kunci keberhasilan pendidikan.

Dalam konteks pembangunan demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia, peran politik eksekutif dan legislatif untuk memajukan pendidikan begitu besar. Ranah politik dan kekuasaan harus mampu mewujudkan sistem pendidikan yang mencerdaskan dan mencerahkan peradaban bangsa ini.

Tokoh liberalisme pendidikan asal Amerika Latin Paulo Freire pernah menegaskan bahwa bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan pembangunan pendidikan. Freire memandang politik pendidikan memiliki nilai penting untuk menentukan kinerja pendidikan suatu negara.

Bangsa yang politik pendidikannya buruk, maka kinerja pendidikannya pun pasti buruk. Sebaliknya, negara yang politik pendidikannya bagus, kinerja pendidikannya pun juga akan bagus. Pertanyaannya kini, bagaimanakah realitas politik pendidikan kita saat ini?

Tantangan dan Tren Pendidikan Tinggi

Tantangan dan Tren Pendidikan Tinggi
Tantangan dan Tren Pendidikan Tinggi

Institusi pendidikan tinggi (universitas) tidak steril dari tuntutan dan perkembangan zaman. Kemampuan menyikapi tantangan dan tren yang dibawa oleh zaman akan sangat menentukan apakah sebuah universitas dapat tetap kompetitif atau kehilangan pasar. Tantangan dan tren inilah yang memaksa dan mengharuskan universitas untuk menerapkan logika korporasi, dengan mengedepankan prinsip-prinsip efisiensi pembiayaan, memperhitungkan setiap risiko (calculability), dan kemampuan untuk memprediksi tantangan dan tren ke depan (predictability). Dalam bahasa Kezar (2000), peran seorang rektor akan semakin menyerupai manajer perusahaan, dan manajemen universitas makin menitikberatkan pada akuntabilitas. Salah satu dampak dari perubahan ini adalah bergesernya fokus pendidikan dari sasaran utamanya, yaitu mahasiswa. Tuntutan masyarakat akan kualitas pendidikan tinggi yang bermutu dan murah pasti akan menyulitkan universitas dalam mendesain, baik program maupun kepastian lulusannya agar dapat diterima pasar kerja (Kovel-Jarboe, 2000).

Setiap universitas dapat dipastikan memiliki problem sosialnya sendiri. Pada saat bersamaan, dalam setiap masyarakat juga memiliki masalah dan isu-isu yang berkaitan dengan dunia universitas. Strategi yang mungkin akurat untuk mengatasi masalah-masalah tersebut sangat bergantung pada kondisi struktur dan kepemimpinan di tingkat lokal dan latar belakang kesejarahan masyarakat itu sendiri. Segenap potensi sumber daya universitas seyogianya digunakan untuk memperbarui, memvalidasi, dan memperluas wilayah keilmuan yang bersifat humanis dengan menggunakan metode-metode pengetahuan standar. Metode pengetahuan tentu saja hanya dapat ditransmisi dalam suatu tatanan masyarakat yang demokratis dan terbuka sebagai bentuk way of life. Pentingnya budaya demokratis yang bertanggung jawab di universitas adalah tuntutan lain dari kebutuhan dan perkembangan psikososial mahasiswa kita yang semakin sensitif terhadap semua jenis isu sosial dan politik (Dickinson, 1991).

Otonomi dan tren pendidikan tinggi

Isu otonomi pendidikan sebenarnya sudah dimulai di Indonesia sejak masa Presiden Habibie. Meskipun isu otonomi dan kebebasan akademis dalam beberapa hal sangat kontroversial, dalam batas tertentu kita harus menganggapnya sebagai kebutuhan yang bisa fleksibel. Otonomi adalah hak bagi setiap institusi untuk memutuskan apa yang baik bagi sebuah institusi tanpa ada gangguan dari pihak luar. Konsep ini jelas datang dari semangat kebebasan akademis, ketika hak-hak akademis individu untuk mengekspresikan opini mereka terjamin.

Di dalam Magna Carta of European Universities yang ditandatangani pada 1988 oleh para rektor dari Universitas terbaik se-Eropa dikatakan bahwa universitas merupakan lembaga yang otonom di tengah-tengah masyarakat yang sangat beragam, baik secara geografis maupun budaya. Universitas adalah produsen utama hampir seluruh produk sosial, politik, dan budaya yang bersinggungan langsung dengan kehidupan masyarakat. Karena itu, keseluruhan proses belajar mengajar di universitas secara moral dan intelektual haruslah independen dan terlepas dari semua kepentingan politik dan kekuasaan. Kebebasan dalam menjalankan proses belajar mengajar dan melakukan riset secara terbuka merupakan pilihan strategis dan fundamental bagi universitas dalam rangka menjaga independensinya di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, universitas harus secara konsisten dan konsekuen menjaga prinsip-prinsip otonomi seperti: (1) Hak untuk mempekerjakan dan memecat staf akademis yang melanggar etika dan tidak dapat mengembangkan kapasitas akademisnya, (2) hak untuk memutuskan apa dan bagaimana proses belajar mengajar harus dijalankan, (3) hak untuk menyeleksi mahasiswa dan mengevaluasi performance mereka secara mandiri dan bertanggung jawab, serta (4) hak untuk memilih topik-topik riset yang mereka inginkan tanpa harus takut akan intervensi pihak luar.

Di samping soal otonomi, beberapa isu penting soal bagaimana seharusnya sebuah universitas merespons perkembangan sosial budaya masyarakat juga harus diperhatikan. Isu tentang strategi kolaborasi yang harus dijalankan oleh universitas, strategi pendanaan, dan pentingnya memikirkan segmentasi yang bersinergi dengan bursa kerja merupakan keharusan yang perlu dipikirkan, direncanakan, dan dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan (Zusman, 1999).

Dalam rangka menarik minat pasar, pendidikan tinggi di Indonesia, mau tidak mau dan suka atau tidak suka, harus membuka program-program pelatihan, sertifikasi, serta kuliah jarak jauh yang dikelola dengan logika kolaboratif, yaitu ketersambungan dunia bisnis dan pendidikan. Networking atau jejaring adalah kata kunci yang harus dikembangkan secara terus-menerus oleh setiap universitas dalam rangka mencari pola partnership yang tepat antara universitas dan lembaga keuangan (bisnis, entertainer) dan lembaga riset. Selain itu, universitas diharapkan juga jeli dalam menjalin kolaborasi dengan sekolah menengah umum tertentu sebagai basis input-nya dan universitas lain terutama dalam rangka pemanfaatan sumber daya dan teknologi. Jika strategi kolaborasi ini berjalan, perencanaan pendidikan menjadi lebih mudah disosialisasikan ke tingkat masyarakat. Dengan demikian, pembukaan program-program baru yang berorientasi pada pasar atau kebutuhan masyarakat perlu dijajaki.

Selain itu, dalam menjalankan strategi pendanaannya, lembaga pendidikan tinggi juga harus memperhatikan daya beli masyarakat. Karena itu, riset tentang pembelanjaan dana publik di sektor pendidikan harus dilakukan. Belajar dari tren yang berkembang di Amerika Serikat, skema distribusi dana pendidikan diubah dari 'subsidi' menjadi 'pinjaman'. Perubahan ini sudah barang tentu merugikan masyarakat kurang mampu, yang enggan terbebani utang. Meski demikian, permintaan pinjaman mahasiswa meningkat secara signifikan, yang jumlahnya naik dari setengah menjadi tiga perempat dana pinjaman dalam anggaran pemerintah pusat. Adapun di tingkat negara bagian, alokasi anggaran pendidikan menunjukkan peningkatan. Sumbangan korporasi untuk universitas pun meningkat. Di samping itu, semakin banyak negara bagian yang mengikuti jejak California mengenalkan skema pinjaman yang lunak (Kovel-Jarboe, P 2000).

Strategi dan skema pendanaan yang berlaku saat ini di Amerika Serikat boleh jadi dapat menginspirasi lembaga pendidikan tinggi kita untuk melakukan kerja sama dengan perbankan dan pemerintah daerah dalam menggalang dana publik masuk ke sektor pendidikan tinggi. Ke depan, diharapkan ada riset mendalam yang secara spesifik melihat kemungkinan strategi pendanaan seperti ini bagi para mahasiswa kita di Indonesia.

Strategi ketiga adalah bagaimana lembaga pendidikan memetakan kemampuannya dalam melihat segmentasi pasar. Harus kita sadari bahwa 'peta sosial' universitas senantiasa berubah, baik dalam hal komposisi umur dan jenis kelamin, serta konfigurasi mayoritas-minoritas. Hal yang penting diperhatikan adalah meningkatnya jumlah 'mahasiswa dewasa'. Ketika perusahaan mengurangi program-program pelatihan, karyawan berpaling pada institusi akademis. Universitas-universitas dan lembaga pendidikan tinggi yang tanggap akan kebutuhan ini, yaitu yang mampu menjanjikan peningkatan kemampuan akademis dan keahlian khusus, baik melalui kelas reguler maupun kelas jarak jauh, menjadi lebih kompetitif.

Dengan kesadaran tentang the new student map, sesungguhnya kita menginginkan agar universitas di Indonesia dapat berperan lebih aktif dalam melihat kebutuhan tenaga profesional di segala bidang dengan kebutuhan dunia birokrasi dan usaha. Para pekerja yang ingin memperoleh ilmu dan meningkatkan profesionalitas mereka perlu diakomodasi oleh lembaga pendidikan seperti universitas dengan membuka program-program yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan secara bertanggung jawab.

Kesadaran tentang paradigma instruksional lembaga pendidikan kita juga tampaknya perlu digeser menjadi paradigma pembelajaran yang mengedepankan keberagaman model belajar dan multiple intelligences. Pada titik ini, peran dosen dan tenaga pengajar lainnya menjadi sangat penting. Karena itu, dosen dan tenaga akademis di setiap lembaga pendidikan tinggi dituntut untuk memiliki kemampuan, pengetahuan, dan keahlian dalam memutuskan bagaimana dapat membantu mahasiswa belajar secara maksimal. Perubahan paradigma pembelajaran ini juga membawa konsekuensi logis kepada universitas untuk melakukan program-program penyegaran dan pelatihan yang dapat memacu kreativitas pembelajaran.

Pendidikan Luar Sekolah

Kita menyadari bahwa SDM kita masih rendah, dan tentunya kita masih punya satu sikap yakni optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut. Salah satu pilar yang tidak mungkin terabaikan adalah melalui pendidikan non formal atau lebih dikenal dengan pendidikan luar sekolah (PLS).

Seperti kita ketahui, bahwa rendahnya SDM kita tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah. Rendahnya kualitas SDM tersebut disebabkan oleh banyak hal, misalnya ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai akibat dari kemiskinan yang melilit kehidupan keluarga, atau bisa saja disebabkan oleh oleh angka putus sekolah, hal yang sama disebabkan oleh factor ekonomi

Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah mengerakan program pendidikan non formal tersebut, karena UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa pendidikan non formal akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut bertanggungjawab kelangsungan pendidikan non formal sebagai upaya untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.

Dalam kerangka perluasan dan pemerataan PLS, secara bertahap dan bergukir akan terus ditingkatkan jangkauan pelayanan serta peran serta masyarakat dan pemerintah daerah untuk menggali dan memanfaatkan seluruh potensi masyarakat untuk mendukung penyelenggaraan PLS, maka Rencana Strategis baik untuk tingkat propinsi maupun kabupaten kota, adalah :

  1. Perluasan pemerataan dan jangkauan pendidikan anak usia dini;

  2. Peningkatan pemerataan, jangkauan dan kualitas pelayanan Kejar Paket A setara SD dan B setara SLTP;

  3. Penuntasan buta aksara melalui program Keaksaraan Fungsional;

  4. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan (PKUP), Program Pendidikan Orang tua (Parenting);

  5. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, beasiswa/kursus; dan

  6. Memperkuat dan memandirikan PKBM yang telah melembaga saat ini di berbagai daerah di Riau.

Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, maka program PLS lebih berorientasi pada kebutuhan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis. Oleh sebab itu Program PLS mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha, maka yang perlu disusun Rencana strategis adalah :

  1. Meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS;

  2. Meningkatkan mutu sarana dan prasarana dapat memperluas pelayanan PLS, dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil;

  3. Meningkatkan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standard kompetensi, standard kurikulum untuk kursus;

  4. Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder) seperti Dudi, asosiasi profesi, lembaga diklat; serta

  5. Melaksanakan penelitian kesesuain program PLS dengan kebutuhan masyarakat dan pasar. Demikian pula kaitan dengan peningkatan kualitas manajemen pendidikan.

Strategi PLS dalam rangka era otonomi daerah, maka rencana strategi yang dilakukan adalah :

  1. Meningkatkan peranserta masyarakat dan pemerintah daerah;
  2. Pembinaan kelembagaan PLS;
  3. Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat;
  4. Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS;
  5. Meningkatkan fasilitas di bidang PLS

Semangat Otonomi Daerah PLS memusatkan perhatiannya pada usaha pembelajaran di bidang keterampilan lokal, baik secara sendiri maupun terintegrasi. Diharapkan mereka mampu mengoptimalkan apa yang sudah mereka miliki, sehingga dapat bekerja lebih produktif dan efisien, selanjutnya tidak menutup kemungkinan mereka dapat membuka peluang kerja.

Pendidikan Luar Sekolah menggunakan pembelajaran bermakna, artinya lebih berorientasi dengan pasar, dan hasil pembelajaran dapat dirasakan langsung manfaatnya, baik oleh masyarakat maupun peserta didik itu sendiri..

Di dalam pengembangan Pendidikan Luar Sekolah, yang perlu menjadi perhatian bahwa, dalam usaha memberdayakan masyarakat kiranya dapat membaca dan merebut peluang dari otonomi daerah, pendidikan luar sekolah pada era otonomi daerah sebenarnya diberi kesempatan untuk berbuat, karena mustahil peningkatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi beban pendidikan formal saja, akan tetapi pendidikan formal juga memiliki tanggungjawab yang sama. .

Oleh sebab itu sasaran Pendidikan Luar Sekolah lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan berkelanjutan, dan perempuan.

Selanjutnya Pendidikan Luar Sekolah harus mampu membentuk SDM berdaya saing tinggi, dan sangat ditentukan oleh SDM muda (dini), dan tepatlah Pendidikan Luar sekolah sebagai alternative di dalam peningkatan SDM ke depan.

PLS menjadi tanggungjawab masyarakat dan pemerintah sejalan dengan Pendidikan Berbasis Masyarakat, penyelenggaraan PLS lebih memberdayakan masyarakat sebagai perencana, pelaksanaan serta pengendali, PLS perlu mempertahankan falsafah lebih baik mendengar dari pada didengar, Pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota secara terus menerus memberi perhatian terhadap PLS sebagai upaya peningkatan SDM, dan PLS sebagai salah satu solusi terhadap permasalahan masyarakat, terutama anak usia sekolah yang tidak mampu melanjutkan pendidikan, dan anak usia putus sekolah..Semoga.

Pendidikan Kita

Sudah Dewasakah Sistem pendidikan Kita?

Salah satu tujuan Pendidikan Nasional Dalam UU SisDikNas No.20 Tahun 2003, adalah melahirkan manusia yang bertanggung jawab. Seperti yang kita ketahui bersama sitem pendidikan tidak terlepas dari berbagai unsur yang ada, seperti Guru, siswa, kurikulum, manajemen, sarana dan Prasarana, kebijakan pemerintah dsb. Untuk melahirkan manusia yang bertanggung jawab tidaklah mudah. Manusia yang bertanggung jawab adalah profil manusia dewasa yaitu manusia yang dapat membedakan baik dan buruk, indah dan jelek, atau benar dan salah.

Jika melihat output (lulusan) pendidikan kita selama ini pendidikan di indonesia banyak melahirkan manusia yang belum dewasa. kenapa demikian ? Ini dapat kita lihat dari pigur-pigur pejabat yang ada. Pejabat sekarang korupsi, mementingkan diri sendiri dan Premaniseme adalah contoh dari produk pendidikan kita selama ini. Kita tahu bahwa korupsi adalah perbuatan tidak baik dan hanya anak-anak lah yang mungkin belum bisa menilai bahwa kaorupsi adalah perbuatan tidak baik. Itu adalah salah satu contoh bahwa pendidikan di Indonesia belum melahirkan manusia yang Bertanggung jawab.

Semoga Pendidikan Nasional kita ke depan bisa melahirkan manusia yang bertanggung jawab. Yang ketika sudah menjadi pejabat atau yang memegang kebijakan di negeri Indonesia punya hati nurani, tidak menjual aset negeri ini dan bekerja untuk mencerdaskan kehiduapan bangsa kembali.

Pendidikan Jarak Jauh

Pendidikan Jarak Jauh secara tersurat sudah termaktub di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang "Sistem Pendidikan Nasional". Rumusan tentang Pendidikan Jarak Jauh terlihat pada BAB VI Jalur, jenjang dan Jenis Pendidikan pada Bagian Kesepuluh Pendidikan Jarak Jauh pada Pasal 31 berbunyi : (1) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan; (2) Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tata muka atau regular; (3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta system penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standard nasional pendidikan; (4) Ketentuan mengenai penyelenggarakan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Ini menunjukan kepada kita bahwa pendidikan jarak jauh merupakan program pemerintah yang perlu terus didukung. Pemerintah merasakan bahwa kondisi pendidikan negeri kita perlu terus dibenahi, dan tentunya diperlukan strategi yang tepat, terencana dan simultan. Selama ini belum tersentuh secara optimal, karena banyak hal yang juga perlu dipertimbangkan dan dilakukan pemerintah didalam kerangka peningkatan kualitas sector pendidikan.

Pendidikan jarak jauh pada kondisi awal sudah dijalankan pemerintah melalui berbagai upaya, baik melalui Belajar Jarak Jauh yang dikembangkan oleh Universitas Terbuka, mapun Pendidikan Jarak Jauh yang dikembangkan oleh Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Departemen Pendidikan Nasional, melalui program pembelajaran multimedia, dengan program SLTP dan SMU Terbuka, Pendidikan dan Latihan Siaran Radio Pendidikan.

Berkenaan dengan itu, yang pasti sasaran dari program pendidikan jarak jauh tidak lain adalah memberikan kesempatan kepada anak-anak bangsa yang belum tersentuh mengecap pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, bahkan tidak terkecuali anak didik yang sempat putus sekolah, baik untuk pendidikan dasar, menengah. Demikian pula bagi para guru yang memiliki sertifikasi lulusan SPG/SGO/KPG yang karena kondisi tempat bertugas di daerah terpencil, pedalaman, di pergunungan, dan banyak pula yang dipisahkan antar pulau, maka peluang untuk mendapatkan pendidikan melalui program pendidikan jarak jauh mutlak terbuka lebar. Perlu dicatat bahwa pemerintah telah melakukan dengan berbagai terobosan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia. Upaya keras yang dilakukan adalah berkaiatan dengan lokalisasi daerah terpencil, pedalaman yang sangat terbatas oleh berbagai hal, seperti transportasi, komunikasi, maupun informasi. Hal ini sesegera mungkin untuk diantisipasi, sehingga jurang ketertinggalan dengan masyarakat perkotaan tidak terlalu dalam, dan segera untuk diantisipasi.

Semangat otonomi daerah memberikan angin segar terhadap pelaksanaan program pendidikan jarak jauh. Apalagi bila kita telusuri, masih banyak para guru yang mempunyai keinginan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, akan tetapi karena keterbatasan dana, ditambah lagi ketidakmungkinannya untuk meninggalkan sekolah, maka cita-cita untuk melanjutkan belum tercapai.

Akan tetapi dengan melalui program pendidikan jarak jauh melalui pola pembelajaran multi media yang digalakan oleh Pusat Teknologi, Komunikasi dan Informasi (Pustekkom) Pendidikan Nasional, merupakan angin segar bagi para guru-guru yang berpendidikan SPG/SGO untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Diploma Dua melalui Program PGSD. Demikian pula bagi para guru-guru yang baru direkrut melalui program guru bantu yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat maupun guru kontrak yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, pada umumnya banyak lulusan SMU/SMK/MA tentunya dari segi kualitas perlu terus ditingkatkan, apalagi yang menyangkut kemampuan didaktik, metodik dan paedogogik masih perlu banyak belajar, karena selama menjalani pendidikan di sekolah menengah tidak pernah mendapatkan materi tersebut. Mereka-mereka ini perlu diberi kesempatan untuk mengikuti program Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) selama dua tahun.

Katanya Pusat Teknologi, Komunikasi dan Informasi (Pustekkom) Dinas Pendidikan Nasional bekerjasama dengan LPTK, dan Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota tahun depan akan melaksanakan program pendidikan jarak jauh, yang akan diujicoba untuk lima propinsi se Indonesia, Yakni Propinsi Riau, Sumatera Barat, Papua, Gorontalo, dan Ujung Pandang.

Pola yang diterapkan melalui program pembelajaran multimedia, dengan melibatkan LPTK yang ada, Dinas Kabupaten/Kota serta Pustekkom Propinsi. Para guru tidak perlu lagi meninggalkan tugas mengajar, dan tentunya proses pembelajaran dapat dilaksanakan secara efektif seperti biasa. Para tutorial dan teknisi dari LPTK yang akan datang ke daerah untuk melakukan proses pembelajaran.

Telah terjadi distribusi hak dan wewenang antara, LPTK, Pustekkom, Dinas Pendidikan, dalam proses pelaksanaan, dan masing-masing tetap menyatukait, dan ada beberapa program yang dilaksanakan secara bersama-sama. Hal ini telah diatur sesuai dengan kesepakatan antara LPTK, Dinas Pendidikan, Pustekkom beberapa waktu yang lalu.

Untuk itu Dinas Pendidikan Propinsi Riau bersama dengan LPTK (FKIP UNRI) akan melaksanakan sosialisasi tentang program ini, telah melakukan rapat koodinasi tanggal 15 November 2003 bersama seluruh kepala Dinas Pendidikan Propinsi Riau. Pada kesempatan itu Pemerintah Pusat melalui Pusat Teknologi, Komunikasi dan Informasi memberikan beberapa informasi pada pertemuan itu. Sehingga kesepakatan untuk melaksanakan program peningkatan Sumber Daya Manusia dalam hal ini "Guru" dapat terwujud sesuai dengan apa yang direncanakan.

Perkembangan Siaran Televisi Pendidikan di Indonesia

Perkembangan Siaran Televisi Pendidikan di Indonesia

Pada awalnya adalah sebuah gagasan yang dikembangkan oleh Satuan Tugas Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan (Satgas TKPK) di bidang pengembangan siaran radio pendidikan pada tahun 1970-an. Satuan Tugas ini dipimpin oleh Yusufhadi Miarso selaku Deputi Bidang Media Pendidikan pada Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP)-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah melalui tahap perintisan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan guru-guru Sekolah Dasar (SD) melalui Siaran Radio (Diklat SRP) di Yogyakarta dan Semarang, maka model Diklat SRP ini disebarluaskan ke berbagai propinsi lainnya. Tidak hanya mengembangkan model Diklat SRP tetapi Satgas TKPK juga mengembangkan model pemanfaatan teknologi komunikasi untuk pendidikan luar sekolah (TKPLS) dan model pendidikan inovatif yang dikenal dengan SMP Terbuka.

Sasaran program TKPLS adalah masyarakat yang berminat mengembangkan potensi dirinya di bidang pengetahuan atau keterampilan untuk mengembangkan industri rumah tangga. Secara khusus, sasaran program TKPLS adalah masyarakat berpenghasilan rendah dan mereka yang mengikuti kegiatan pemberantasan buta aksara. Program-program pembaharuan (inovasi) di bidang media yang dikembangkan BPP melalui Satgas TKPK terlebih dahulu diujicobakan secara terbatas.

Setelah melalui tahap ujicoba atau perintisan, barulah program inovasi tersebut disebarluaskan ke berbagai propinsi. Mengingat belum adanya unit kerja yang secara khusus menangani inovasi atau pembaharuan di bidang pendidikan/pembelajaran, maka dipandang perlu untuk mendirikan satu unit kerja yang secara khusus menangani/mengelola berbagai pembaharuan/ inovasi di bidang pendidikan khususnya yang berkaitan dengan penerapan teknologi komunikasi.

Unit kerja baru yang didirikan adalah Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan (Pustekkom) yang berada langsung di bawah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Pada awal berdirinya, Pustekkom mempunyai dengan 3 unit Balai Produksi Media yaitu Balai Produksi Media Radio (BPMR) di Yogyakarta dan Semarang serta Balai Produksi Media Televisi di Surabaya. Sedangkan di Pustekkom sendiri, ada 3 unit Studio Produksi yang terdiri atas: Studio Audio Pendidikan, Studio Televisi Pendidikan, dan Studio Foto-Film-Grafis.

Program Diklat SRP terus dikembangkan disertai dengan berbagai penyempurnaan dilakukan. Selain itu, Pustekkom juga mengembangkan program media film 16mm, bingkai suara (sound slide program), kaset audio, kaset video, permainan simulasi (simulation game), media overhead transparency (OHT), dan program siaran televisi pendidikan. Program Diklat SRP dan TKPLS disiarkan oleh Stasiun Radio Republik Indonesia (RRI), Radio Pemerintah Daerah (RPD), dan Radio Swasta Niaga. Sedangkan program media film pendidikan pertama yang diproduksi Pustekkom adalah bertemakan pengembangan watak anak dan ditayangkan melalui Stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI).

Pustekkom terus meningkatkan kualitas fasilitas/peralatan produksinya dan demikian juga dengan kemampuan stafnya. Melalui dukungan fasilitas dan staf yang berkualitas, Pustekkom telah berhasil memproduksi film serial pendidikan pertama yang berjudul “Aku Cinta Indonesia” (ACI). Yang menjadi sasaran dari film serial pertama ACI ini adalah anak-anak usia Sekolah Menengah tingkat Pertama (SMP). Film serial ACI ini ditayangkan setiap hari Minggu melalui stasiun TVRI.

Keberhasilan memproduksi film serial ACI pertama telah mendorong Pustekkom untuk memproduksi film serial ACI II (bertemakan pendidikan sejarah perjuangan bangsa) dan ACI III (bertemakan pengembangan kepribadian anak-anak usia Sekolah Menengah) yang juga ditayangkan oleh Stasiun TVRI setiap minggunya. Film serial ACI IV sebenarnya telah mulai diproduksi oleh Pustekkom untuk beberapa episode tetapi tidak berlanjut.

Dengan potensi yang dimiliki, Pustekkom merintis penyelenggaraan siaran televisi yang secara khusus menayangkan program pendidikan/pembelajaran melalui dukungan kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Belanda dan Australia. Walaupun tenaga yang dibutuhkan untuk mengelola siaran televisi pendidikan telah dipersiapkan, program siaran telah mulai dikembangkan, sarana dan prasarana untuk penyelenggaraan siaran televisi pendidikan/ pembelajaran telah juga dipersiapkan, namun program kerjasama ini tidak dapat dilanjutkan.

Tidak berlanjutnya program kerjasama dengan pemerintah Belanda dan Australia tidak menyurutkan semangat untuk dapat menyelengarakan siaran televisi secara khusus di bidang pendidikan/pembelajaran. Dalam kaitan ini, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjalin kerjasama dengan pihak swasta (PT Cipta Lamtoro Gung Persada) untuk pendirian satu stasiun pemancar televisi untuk pendidikan yang berskala nasional. Pada tahun 1991, secara resmi berdirilah stasiun Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) di mana Pustekkom mempunyai tugas untuk menyediakan program-program pendidikan/pembelajaran dan stasiun TPI bertugas menayangkannya.

Di dalam dokumen perjanjian kerjasama tersebut disebutkan antara lain bahwa (1) masa berlaku perjanjian kerjasama adalah untuk 15 (limabelas) tahun, (2) stasiun TPI berkewajiban mengalokasikan 16,6% dari seluruh jumlah jam siarannya untuk pendidikan sekolah dan 16,6% untuk pendidikan luar sekolah, dan (3) Pustekkom berkewajiban untuk menyediakan program-program pendidikan/pembelajaran, baik untuk pendidikan sekolah maupun luar sekolah. Dalam perkembangannya, perjanjian kerjasama ini tidak dapat berlangsung sebagaimana yang telah disepakati.

Sekalipun terus terkendala gagasan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melalui Pustekkom untuk dapat mengelola sendiri penyelenggaraan siaran televisi pendidikan, namun upaya tetap terus dilakukan. Upaya gigih ini akhirnya menuai hasil dengan dilakukannya pencanangan dimulainya penyelenggaraan siaran televisi edukasi (TVE). Siaran TVE tidak menggunakan jaringan teresterial tetapi melalui satelit Telkom 1. Itulah sebabnya bahwa siaran TVE tidak dapat ditangkap masyarakat luas apabila pesawat televisinya hanya dilengkapi dengan antena biasa. Diperlukan adanya antena parabola yang diarahkan pada posisi satelit Telkom 1.

Masyarakat yang mempunyai antena parabola dapat menangkap siaran TVE selama 24 jam dengan cara mengarahkan antena parabolanya ke satelit Telkom 1 dengan frekuensi: 3785 MHz; symbol rate: 4000; LNB/LO: 5150; Video PID: 0308; Audio PID: 0256; dan PCR PID: 8190.

Agar masyarakat luas dimungkinkan untuk menikmati siaran TVE, Depdiknas melalui Pustekkom menjalin kerjasama dengan stasiun TVRI dan berbagai stasiun TV lokal yang tersebar di berbagai daerah. Stasiun TVRI hanya menayangkan program pembelajaran untuk SMP pada pagi hari dimulai dari pukul 07.00 WIB-09.00 WIB dan disiar-ulangkan pada pukul 14.00 WIB-16.00 WIB. Sedangkan satsiun-stasiun TV lokal diatur secara tersendiri melalui Memorandum Kerjasama (MoU). Dari dokumen yang ada dikemukakan bahwa terdapat 61 stasiun televisi yang telah bekerjasama dengan Pustekkom untuk menerus-siarkan program-program pendidikan/pembelajaran yang ditayangkan TVE. Selain itu, kerjasama juga dijalin dengan berbagai operator TV Cable.

Komposisi program pendidikan/pembelajaran yang ditayangkan melalui siaran TVE adalah 20% untuk pendidikan formal, 30% untuk pendidikan non-formal, 30% untuk pendidikan informal, dan 20% untuk kepentingan informasi pendidikan. Yang menjadi sasaran dari program siaran TVE adalah (1) para peserta didik pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, (2) para praktisi pendidikan, dan (3) masyarakat luas.

Sebagai stimulans, Pustekkom telah mendistribusikan pesawat televisi, antena parabola, DVD player, pembangkit tenaga listrik (genset) ke sekolah-sekolah melalui block-grant ke semua Dinas Pendidikan tingkat Propinsi. Diharapkan upaya ini akan dapat ditindaklanjuti oleh berbagai pihak sehingga para peserta didik dapat mengoptimalkan pemanfaatan siaran TVE untuk kepentingan pembelajaran. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai siaran TVE, website yang dapat dikunjungi adalah: http://www.tvedukasi.or.id

PENDIDIKAN NASIONAL YANG BERMORAL

PENDIDIKAN NASIONAL YANG BERMORAL

Memang harus kita akui ada diantara (oknum) generasi muda saat ini yang mudah emosi dan lebih mengutamakan otot daripada akal pikiran. Kita lihat saja, tawuran bukan lagi milik pelajar SMP dan SLTA tapi sudah merambah dunia kampus (masih ingat kematian seorang mahasiswa di Universitas Jambi, awal tahun 2002 akibat perkelahian didalam kampus). Atau kita jarang (atau belum pernah) melihat demonstrasi yang santun dan tidak menggangu orang lain baik kata-kata yang diucapkan dan prilaku yang ditampilkan. Kita juga kadang-kadang jadi ragu apakah demonstrasi yang dilakukan mahasiswa murni untuk kepentingan rakyat atau pesanan sang pejabat.

Selain itu, berita-berita mengenai tindakan pencurian kendaraan baik roda dua maupun empat, penguna narkoba atau bahkan pengedar, pemerasan dan perampokan yang hampir setiap hari mewarnai tiap lini kehidupan di negara kita tercinta ini banyak dilakukan oleh oknum golongan terpelajar. Semua ini jadi tanda tanya besar kenapa hal tersebut terjadi?. Apakah dunia Pendidikan (dari SD sampai PT) kita sudah tidak lagi mengajarkan tata susila dan prinsip saling sayang - menyayangi kepada siswa atau mahasiswanya atau kurikulum pendidikan tinggi sudah melupakan prinsip kerukunan antar sesama? Atau inikah hasil dari sistim pendidikan kita selama ini ? atau Inikah akibat perilaku para pejabat kita?

Dilain pihak, tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang membuat bangsa ini morat-marit dengan segala permasalahanya baik dalam bidang keamanan, politik, ekonomi, sosial budaya serta pendidikan banyak dilakukan oleh orang orang yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi baik dalam negri maupun luar negri. Dan parahnya, era reformasi bukannya berkurang tapi malah tambah jadi. Sehingga kapan krisis multidimensi inI akan berakhir belum ada tanda-tandanya.

PERLU PENDIDIKAN YANG BERMORAL
Kita dan saya sebagai Generasi Muda sangat perihatin dengan keadaan generasi penerus atau calon generasi penerus Bangsa Indonesai saat ini, yang tinggal, hidup dan dibesarkan di dalam bumi republik ini. Untuk menyiapkan generasi penerus yang bermoral, beretika, sopan, santun, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa perlu dilakukan hal-hal yang memungkin hal itu terjadi walaupun memakan waktu lama.

Pertama, melalui pendidikan nasional yang bermoral (saya tidak ingin mengatakan bahwa pendidikan kita saat ini tidak bermoral, namun kenyataanya demikian di masyarakat). Lalu apa hubungannya Pendidikan Nasional dan Nasib Generasi Penerus? Hubungannya sangat erat. Pendidikan pada hakikatnya adalah alat untuk menyiapkan sumber daya manusia yang bermoral dan berkualitas unggul. Dan sumber daya manusia tersebut merupakan refleksi nyata dari apa yang telah pendidikan sumbangankan untuk kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Apa yang telah terjadi pada Bangsa Indonesia saat ini adalah sebagai sumbangan pendidikan nasional kita selama ini.

Pendidikan nasional selama ini telah mengeyampingkan banyak hal. Seharusnya pendidikan nasional kita mampu menciptakan pribadi (generasi penerus) yang bermoral, mandiri, matang dan dewasa, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.Tapi kenyataanya bisa kita lihat saat ini. Pejabat yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme baik di legislative, ekskutif dan yudikatif semuanya orang-orang yang berpendidikan bahkan tidak tanggung-tanggung, mereka bergelar dari S1 sampai Prof. Dr. Contoh lainnya, dalam bidang politik lebih parah lagi, ada partai kembar , anggota dewan terlibat narkoba, bertengkar ketika sidang, gontok-gontokan dalam tubuh partai karena memperebutkan posisi tertentu (Bagaimana mau memperjuangkan aspirasi rakyat kalau dalam diri partai saja belum kompak).

Dan masih ingatkah ketika terjadi jual beli kata-kata umpatan ("bangsat") dalam sidang kasus Bulog yang dilakukan oleh orang-orang yang mengerti hukum dan berpendidikan tinggi. Apakah orang-orang seperti ini yang kita andalkan untuk membawa bangsa ini kedepan? Apakah mereka tidak sadar tindak-tanduk mereka akan ditiru oleh generasi muda saat ini dimasa yang akan datang? Dalam dunia pendidikan sendiri terjadi penyimpangan-penyimpang yang sangat parah seperti penjualan gelar akademik dari S1 sampai S3 bahkan professor (dan anehnya pelakunya adalah orang yang mengerti tentang pendidikan), kelas jauh, guru/dosen yang curang dengan sering datang terlambat untuk mengajar, mengubah nilai supaya bisa masuk sekolah favorit, menjiplak skripsi atau tesis, nyuap untuk jadi pegawai negeri atau nyuap untuk naik pangkat sehingga ada kenaikan pangkat ala Naga Bonar.

Di pendidikan tingkat menengah sampai dasar, sama parahnya, setiap awal tahun ajaran baru. Para orang tua murid sibuk mengurusi NEM anaknya (untungsnya, NEM sudah tidak dipakai lagi, entah apalagi cara mereka), kalau perlu didongkrak supaya bisa masuk sekolah-sekolah favorit. Kalaupun NEM anaknya rendah, cara yang paling praktis adalah mencari lobby untuk memasukan anaknya ke sekolah yang diinginkan, kalau perlu nyuap. Perilaku para orang tua seperti ini (khususnya kalangan berduit) secara tidak langsung sudah mengajari anak-anak mereka bagaimana melakukan kecurangan dan penipuan. (makanya tidak aneh sekarang ini banyak oknum pejabat jadi penipu dan pembohong rakyat). Dan banyak lagi yang tidak perlu saya sebutkan satu per satu dalam tulisan ini.

Kembali ke pendidikan nasional yang bermoral (yang saya maksud adalah pendidikan yang bisa mencetak generasi muda dari SD sampai PT yang bermoral. Dimana proses pendidikan harus bisa membawa peserta didik kearah kedewasaan, kemandirian dan bertanggung jawab, tahu malu, tidak plin-plan, jujur, santun, berahklak mulia, berbudi pekerti luhur sehingga mereka tidak lagi bergantung kepada keluarga, masyarakat atau bangsa setelah menyelesaikan pendidikannya.Tetapi sebaliknya, mereka bisa membangun bangsa ini dengan kekayaan yang kita miliki dan dihargai didunia internasional. Kalau perlu bangsa ini tidak lagi mengandalkan utang untuk pembangunan. Sehingga negara lain tidak seenaknya mendikte Bangsa ini dalam berbagai bidang kehidupan.

Dengan kata lain, proses transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik harus dilakukan dengan gaya dan cara yang bermoral pula. Dimana ketika berlangsung proses tranformasi ilmu pengetahuan di SD sampai PT sang pendidik harus memiliki moralitas yang bisa dijadikan panutan oleh peserta didik. Seorang pendidik harus jujur, bertakwa, berahklak mulia, tidak curang, tidak memaksakan kehendak, berperilaku santun, displin, tidak arogan, ada rasa malu, tidak plin plan, berlaku adil dan ramah di dalam kelas, keluarga dan masyarakat. Kalau pendidik mulai dari guru SD sampai PT memiliki sifat-sifat seperti diatas. Negara kita belum tentu morat-marit seperti ini.

Kedua, Perubahan dalam pendidikan nasional jangan hanya terpaku pada perubahan kurikulum, peningkatan anggaran pendidikan, perbaikan fasilitas. Misalkan kurikulum sudah dirubah, anggaran pendidikan sudah ditingkatkan dan fasilitas sudah dilengkapi dan gaji guru/dosen sudah dinaikkan, Namun kalau pendidik (guru atau dosen) dan birokrat pendidikan serta para pembuat kebijakan belum memiliki sifat-sifat seperti diatas, rasanya perubahan-perubahan tersebut akan sia-sia. Implementasi di lapangan akan jauh dari yang diharapkan Dan akibat yang ditimbulkan oleh proses pendidikan pada generasi muda akan sama seperti sekarang ini. Dalam hal ini saya tidak berpretensi menyudutkan guru atau dosen dan birokrat pendidikan serta pembuat kebijakan sebagai penyebab terpuruknya proses pendidikan di Indonesia saat ini. Tapi adanya oknum yang berperilaku menyimpang dan tidak bermoral harus segera mengubah diri sedini mungkin kalau menginginkan generasi seperti diatas.

Selain itu, anggaran pendidikan yang tinggi belum tentu akan mengubah dengan cepat kondisi pendidikan kita saat ini. Malah anggaran yang tinggi akan menimbulkan KKN yang lebih lagi jika tidak ada kontrol yang ketat dan moralitas yang tinggi dari penguna anggaran tersebut. Dengan anggaran sekitar 6% saja KKN sudah merajalela, apalagi 20-25%.

Ketiga, Berlaku adil dan Hilangkan perbedaan. Ketika saya masih di SD dulu, ada beberapa guru saya sangat sering memanggil teman saya maju kedepan untuk mencatat dipapan tulis atau menjawab pertanyaan karena dia pintar dan anak orang kaya. Hal ini juga berlanjut sampai saya kuliah di perguruan tinggi. Yang saya rasakan adalah sedih, rendah diri, iri dan putus asa sehingga timbul pertanyaan mengapa sang guru tidak memangil saya atau yang lain. Apakah hanya yang pintar atau anak orang kaya saja yang pantas mendapat perlakuan seperti itu.? Apakah pendidikan hanya untuk orang yang pintar dan kaya? Dan mengapa saya tidak jadi orang pintar dan kaya seperti teman saya? Bisakah saya jadi orang pintar dengan cara yang demikian?

Dengan contoh yang saya rasakan ini (dan banyak contoh lain yang sebenarnya ingin saya ungkapkan), saya ingin memberikan gambaran bahwa pendidikan nasional kita telah berlaku tidak adil dan membuat perbedaan diantara peserta didik. Sehingga generasi muda kita secara tidak langsung sudah diajari bagaimana berlaku tidak adil dan membuat perbedaan. Jadi, pembukaan kelas unggulan atau kelas akselerasi hanya akan membuat kesenjangan sosial diantara peserta didik, orang tua dan masyarakat. Yang masuk di kelas unggulan belum tentu memang unggul, tetapi ada juga yang diunggul-unggulkan karena KKN. Yang tidak masuk kelas unggulan belum tentu karena tidak unggul otaknya tapi karena dananya tidak unggul. Begitu juga kelas akselerasi, yang sibuk bukan peserta didik, tapi para orang tua mereka mencari jalan bagaimana supaya anaknya bisa masuk kelas tersebut.

Kalau mau membuat perbedaan, buatlah perbedaan yang bisa menumbuhkan peserta didik yang mandiri, bermoral. dewasa dan bertanggungjawab. Jangan hanya mengadopsi sistem bangsa lain yang belum tentu cocok dengan karakter bangsa kita. Karena itu, pembukaan kelas unggulan dan akselerasi perlu ditinjau kembali kalau perlu hilangkan saja.

Contoh lain lagi , seorang dosen marah-marah karena beberapa mahasiswa tidak membawa kamus. Padahal Dia sendiri tidak pernah membawa kamus ke kelas. Dan seorang siswa yang pernah belajar dengan saya datang dengan menangis memberitahu bahwa nilai Bahasa Inggrisnya 6 yang seharusnya 9. Karena dia sering protes pada guru ketika belajar dan tidak ikut les dirumah guru tersebut. Inikan! contoh paling sederhana bahwa pendidikan nasional kita belum mengajarkan bagaimana berlaku adil dan menghilangkan Perbedaan.

PEJABAT HARUS SEGERA BERBENAH DIRI DAN MENGUBAH PERILAKU
Kalau kita menginginkan generasi penerus yang bermoral, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Maka semua pejabat yang memegang jabatan baik legislative, ekskutif maupun yudikatif harus berbenah diri dan memberi contoh dulu bagaimana jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok kepada generasi muda mulai saat ini.

Karena mereka semua adalah orang-orang yang berpendidikan dan tidak sedikit pejabat yang bergelar Prof. Dr. (bukan gelar yang dibeli obral). Mereka harus membuktikan bahwa mereka adalah hasil dari sistim pendidikan nasional selama ini. Jadi kalau mereka terbukti salah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, jangan cari alasan untuk menghindar. Tunjukan bahwa mereka orang yang berpendidikan , bermoral dan taat hukum. Jangan bohong dan curang. Apabila tetap mereka lakukan, sama saja secara tidak langsung mereka (pejabat) sudah memberikan contoh kepada generasi penerus bahwa pendidikan tinggi bukan jaminan orang untuk jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Jadi jangan salahkan jika generasi mudah saat ini meniru apa yang mereka (pejabat) telah lakukan . Karena mereka telah merasakan, melihat dan mengalami yang telah pejabat lakukan terhadap bangsa ini.

Selanjutnya, semua pejabat di negara ini mulai saat ini harus bertanggungjawab dan konsisten dengan ucapannya kepada rakyat. Karena rakyat menaruh kepercayaan terhadap mereka mau dibawah kemana negara ini kedepan. Namun perilaku pejabat kita, lain dulu lain sekarang. Sebelum diangkat jadi pejabat mereka umbar janji kepada rakyat, nanti begini, nanti begitu. Pokoknya semuanya mendukung kepentingan rakyat. Dan setelah diangkat, lain lagi perbuatannya. Contoh sederhana, kita sering melihat di TV ruangan rapat anggota DPR (DPRD) banyak yang kosong atau ada yang tidur-tiduran. Sedih juga melihatnya. Padahal mereka sudah digaji, bagaimana mau memperjuangkan kepentingan rakyat. Kalau ke kantor hanya untuk tidur atau tidak datang sama sekali. Atau ada pengumuman di Koran, radio atau TV tidak ada kenaikan BBM, TDL atau tariff air minum. Tapi beberapa minggu atau bulan berikutnya, tiba-tiba naik dengan alasan tertentu. Jadi jangan salahkan mahasiswa atau rakyat demonstrasi dengan mengeluarkan kata-kata atau perilaku yang kurang etis terhadap pejabat. Karena pejabat itu sendiri tidak konsisten. Padahal pejabat tersebut seorang yang bergelar S2 atau bahkan Prof. Dr. Inikah orang-orang yang dihasilkan oleh pendidikan nasional kita selama ini?

Harapan
Dengan demikian, apabila kita ingin mencetak generasi penerus yang mandiri, bermoral, dewasa dan bertanggung jawab. Konsekwensinya, Semua yang terlibat dalam dunia pendidikan Indonesia harus mampu memberikan suri tauladan yang bisa jadi panutan generasi muda. jangan hanya menuntut generasi muda untuk berperilaku jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.

Tapi para pemimpin bangsa ini tidak melakukannya. Maka harapan tinggal harapan saja. Karena itu, mulai sekarang, semua pejabat mulai dari level tertinggi hingga terendah di legislative, eksekutif dan yudikatif harus segera menghentikan segala bentuk petualangan mereka yang hanya ingin mengejar kepentingan pribadi atau kelompok sesaat dengan mengorbankan kepentingan negara. Sehingga generasi muda Indonesia memiliki panutan-panutan yang bisa diandalkan untuk membangun bangsa ini kedepan.